ANALISIS MEKKAH SEBAGAI PUSAT BUMI TERHADAP
SISTEM WAKTU SHALAT DI INDONESIA
A. Latar Belakang
Penentuan awal waktu shalat meupakan bagian dari ilmu falak yang perhitungannya ditetapkan bedasarkan garis edar matahari atau penelitian posisi matahari terhadap bumi (Agafi, Mukri, 2002: 53)
Shalat merupakan ibadah mahdhah yang pragmatis dan dalam penentuan waktunya merupakan hasil implementasi dari dialektika antara ilmu fiqh dan ilmu astronomi.
Firman Allah SWT dalam QS an Nisa’ 103 sebagai berikut :
Artinya :Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS An Nisa’ 103)
Sedangkan waktu shalat, terlebih lagi “awal waktu shalat” dalam Al Qur'an istilah tersebut tidak ditemukan. Namun yang ada adalah istilah kitaban mauquta, meskipun demikan istilah awal waktu shalat telah dikenal di masyarakat .
Istilah awal waktu shalat merupakan hasil interpretasi dari para fuqaha terhadap Al Qur'an dan As Sunnah dengan persentuhan terhadap ilmu astronomi yang telah ada.
Diantara Hadist Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan waktu shalat adalah sebagai berikut :
عَنْ عبدِ الله بن عَمْرو رضي الله عنهما، أنَّ النبي صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم قالَ: "وَقْتُ الظّهْرِ إذا زَالَتِ الشّمْسُ، وكانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كطولِهِ ما لَمْ يحضُرْ وقْتُ العصرِ، ووقت العصر ما لمْ تصْفَرَّ الشّمْسُ، ووقتُ صلاةِ المَغْرِبِ مَا لمْ يغب الشّفقُ، ووقتُ صلاةِ العِشاءِ إلى نصفِ اللّيْلِ الأوْسَطِ، ووقتُ صلاةِ الصُّبحِ مِنْ طُلوعِ الفجر ما لمْ تطلعِ الشّمس"
Artinya : “Dari Abdullah bin ‘Amr r.a. bahwasannya Nabi saw. bersabda : “Waktu dzuhur itu ialah tatkala condong matahari (ke sebelah Barat) sampai bayang-bayang orang sama dengan tingginya sebelum datang waktu Ashar, dan waktu Ashar selama belum kuning matahari, dan waktu Maghrib sebelum hilang awan merah (setelah terbenamnya matahari), dan waktu Isya hingga tengah malam, dan waktu shalat shubuh dari terbit fajar hingga sebelum terbit matahari
Awal atau akhir waktu sholat ditentukan oleh posisi Matahari dilihat dari tempat tertentu. Awal Dhuhur dimulai sejak Matahari tergelincir, awal ‘Ashar sejak Matahari membuat bayang-bayang sama dengan bendanya, awal Maghrib sejak Matahari terbenam, awal ‘Isya sejak hilangnya mega merah ( pengaruh posisi Matahari ), awal Shubuh sejak terbit fajar (juga pengaruh posisi Matahari) dan akhir shubuh ketika Matahari terbit.
Waktu shalat sangat bergantung pada time dan space pada lokasi tertentu yang kosekuensi logisnya adalah pelaksanaan shalat antara satu daerah berbeda dengan daerah lainnya.
Kemudian kota Greenwich sebagai pusat sistem waktu (Greenwich Mean Time) yang telah menjadi patokan terhadap sistem waktu di seluruh dunia sehingga di Indonesia terdapat pembagian waktu lokal bedasarkan letak atau bujur tempat dari daeah tersebut. Seperti yang telah diketahui oleh khalayak umum bahwa Indonesia terbagi dalam 3 (tiga) waktu meridian secara berturut-turut yakni Waktu Indonesia Barat (WIB) sebelah timur 105o kota Greenwich , Waktu Indonesia Tengah (WITA) sebelah timur 120o kota Greenwich, Waktu Indonesia Timur (WIT) sebelah timur 135o kota Greenwich.
Penetapan garis tanggal International diprakarsai oleh Stanford Fleming (Canada) dan Charles F Down (Amerika) pada tahun 1883 dan disahkan sebagai sistem tata waktu international dalam suatu konferensi pada tahun 1885. Maka mulai saat itu juga dunia seakan ‘terbelah dua’ yaitu dengan 0˚ sampai +180˚ sebagai Bujur Timur dan 0˚sampai -180˚ sebagai Bujur Barat. Sejak itulah muncul istilah yang kita mengenalnya sebagai negara barat dan negara timur hingga saat ini.
Dewasa ini, karena didorong oleh kemajuan tehnologi, muncul isu dari masyarakat muslim yang sangat antusias untuk mengembalikan sistem tata waktu dari Greenwich Mean Time ke sistem tata waktu umat Islam yakni Mekkah Mean Time
Bedasarkan Al Qur'an QS al Hujurat : 1
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Juga diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir , Ibnu Abu Dunya meriwayatkan pada kitab Al Adhahi, dimana Rasullulah membatalkan ibadah penyembelihan hewan Qurban karena mereka melakukan penyembelihan hewan Qurban sebelum Rasulullah melakukanya. Dan memerintahkan mereka mengulangi penyembelihan Hewan Qurban setelah beliau melakukan penyembelihan. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Tabhrani dalam kitab Al Ausath.
Maka Interpretasi terhadap dalil ini menyatakan bahwa bahwa kita tidak boleh mendahului suatu kegiatan syari’ah dalam hal ini adalah dalam beribadah. Maksud mendahului yakni pelaksanaan ibadah tidak boleh mendahului sebelum orang yang berada di kota Mekkah telah melakukannya. Hal inilah yang bagi sebagian orang dijadikan sebagai argumen untuk mengembalikan sistem tata waktu kalender Islam.
Memang dalam proyeksinya, perjalanan Matahari dari timur ke barat, maka negara yang berada pada meridian 0˚ sampai + 180˚ akan mendahului 1 hari dibandingkan dengan negara barat yang ada pada meridian 0˚ sampai -180˚. Sehingga konsekuensi logisnya adalah Ka’bah yang terletak pada meridian +40˚ BT dan Indonesia yang terbentang dari meridian +94˚ sampai +141˚ BT memiliki selisih waktu 4 sampai 6 Jam (15˚ meridan per jam). Dimana Indonesia (Jakarta) telah mendahului 4 jam lebih awal dibandingkankan waktu di Ka’bah (Mekkah).
Seperti akhir pekan lalu yakni tepat pada Sabtu (19/4), di Doha, Qatar, telah berlangsung koferensi ilmiah yang begitu penting bagi dunia Islam . Sejumlah ilmuwan dan ulama Islam berkumpul, mendiskusikan tentang kemungkinan dipindahnya perhitungan waktu yang sudah baku selama ini, dari mengacu pada Greenwich Mean Time (GMT) sebagai Meridian nol, berganti menjadikan Makkah sebagai awal mula perhitungan waktu .
Konferensi ilmiah yang dibuka oleh Dr Yusuf Qaradhawi bertemakan: ''Makkah Sebagai Pusat Bumi, Antara Praktik dan Teori''. Selain Yusuf Qaradhawi, hadir pula sebagai pembahas geolog Mesir, Dr Zaglur Najjar, yang juga dosen ilmu bumi di Wales University, Inggris. Konferensi di Qatar merupakan bagian dari upaya dunia Islam mencari bukti saintifik dari Alquran. Ide dasarnya adalah kebenaran ilmiah sudah tertera di Alquran, dan tugas para ilmuwan mencari bukti-bukti yang sudah diterangkan dalam Alquran tersebut.
Demi mendukung dan mewujudkan perpindahan waktu dunia dari Greenwich ke Mekkah, Pemerintah Arab Saudi membangun sebuah jam raksasa Mekkah Royal Clock Tower di pusat kota, tepatnya di jantung kompleks luas yang didanai pemerintah di atas di puncak Menara Abraj-Al Bait.
Menara ini bahkan lima kali lebih besar dari menara jam Big Ben di Inggris. Diperkirakan jam yang mengunakan patokan waktu Arabian Standard Time (Standar Waktu Arabia), yaitu tiga jam lebih dulu jika dibandingkan dengan GMT (GMT+3) itu akan menjadi acuan waktu bagi sekitar 1,5 miliar warga muslim dunia dengan menyesuaikan jam tangan mereka.
Dewasa ini, karena kemajuan dalam bidang teknologi semakin pesat yang melahirkan banyak inovasi-inovasi baik dalam hal muamalah, ibadah dan sebagainya. Sehingga penulis merasa tertarik terhadap fenomena Mekkah Mean Time dan implikasinya dalam sistem wakttu shalat di Indonesia .

B. Permasalahan
Dengan berdasar pada uraian di atas, maka dapat dikemukakan di sini pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian berikutnya. Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana methode penentuan sistem waktu shalat terhadap kota Mekkah menjadi pusat bumi (Mekkah Mean Time)?
2. Seberapa besarkah implikasi kota Mekkah sebagai pusat bumi terhadap sistem waktu shalat di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui methode penentuan sistem waktu shalat terhadap kota Mekkah menjadi pusat bumi (Mekkah Mean Time)menurut .
2. Untuk mengetahui seberapa besarkah pengaruh kota Mekkah sebagai pusat bumi terhadap sistem waktu shalat di Indonesia.

D. Telaah Pustaka
Terdapat beberapa tulisan-tulisan yang berhubungan dengan masalah ini. Di antara tulisan-tulisan tersebut adalah buku dari Bambang E Budhiyono, buku yang berjudul Reinventing The Missing Islamic Time System. Buku ini membahas tentang perlunya kita sebagai umat muslim untuk mengembalikan sistem waktu dari Greenwich Mean Time mmenuju Mekkah Mean Time. Hal ini dikarenakan adanya kunjungan salah satunya bernama Harits Abu Ukasyah, dan membawa oleh-oleh berupa beberapa jam dinding dari temannya dengan membawa sebuah jam Arabi atau jam Islami
Bambang E Budhiyono menyatakan bahwa keunikan yang terdapat ada jam dinding itu adalah semua jarumnya berputar dari kanan ke kiri, kebalikan dari arah perputaran jarum jam yang lazim seperti yang kita kenal. Khalayak umum akan menyebutnya sebagai gerak berlawanan arah jarum jam sebagai (counter clockwise). Keunikan lain yang ada pada sistem khronometer tersebut adalah pukul 00:00:00 sebagai “awal hari” bukan dimulai dari “tengah malam,” melainkan dari “petang,” berimpit dengan pukul 18:00:00 pada jam biasa .
Bambang E Budhiyono menyimpulkan bahwa dalam sistem tata waktu Mekkah Mean Time akan mengembalikan fitrah manusia sesuai dengan nash-nash yang ada.
Dalam telaah pustaka tersebut, menurut penulis belum ada tulisan yang membahas secara spesifik tentang penentuan waktu shalat dengan sistem tata waktu Mekkah Mean Time dan juga seberapa besar implikasinya dalam waktu shalat di Indonesia .

E. Kerangka Teoritik
Berdasarkan tinjauan astronomis atau ilmu falak, terdapat metode yang dapat digunakan untuk menentukan waktu shalat, yaitu:
1. Sistem Tata Waktu GMT (Greenwich Mean Time)
Sistem tata waktu Masehi berfungsi sebagai garis tanggal international dimana awal hari harus dimulai dari meridian 180 derajat Greenwich pada jam 00:00 tengah malam. Stanford Fleming (Canada) dan Charles F Dowd (Amerika) memperkenalkan sistem tata waktu GMT (Greenwich Mean Time) tahun 1883. Bumi dibelah menjadi dua bagian yakni meridian bujur timur dan meridian bujur barat. Meridian 0o diletakkan di Greenwich. Sejak saat itu dunia terbelah menjadi dua. Bujur timur melintasi Eropa, Asia, Australia sampai selat Bosporus. Sedangkan meridian barat melintasi atlantik, benua Amerika sampai selat Bosporus.
2. Lintang Tempat dan Bujur Tempat
Lintang Tempat adalah jarak dari tempat dimaksud ke Khatulistiwa Bumi diukur sepanjang garis bujur. Khatulistiwa adalah lintang 0o dan titik kutub Bumi lintang 90o; jadi, nilai Lintang Tempat berkisar antara 0o sampai 90o. Di sebelah Selatan Khatulistiwa disebut Lintang Selatan diberi tanda negatif ( - ), di sebelah Utara Khatulistiwa disebut Lintang Utara diberi tanda positif ( + ).
Bujur Tempat adalah jarak dari tempat dimaksud ke garis bujur yang melalui kota Greenwich dekat London. Kota Greenwich adalah bujur 0o, sebelah barat kota Greenwich sampai bujur 180o disebut Bujur Barat, dan sebelah timur kota Greenwich sampai bujur 180o disebut Bujur Timur. 180o Bujur Barat berimpit dengan 180o Bujur Timur yang melalui selat Bering Alaska, dan lautan Bering Alaska (bujur 180o) ini dijadikan pedoman pembuatan Garis Tanggal Internasional ( International Date Line ).
3. Deklinasi Matahari
Deklinasi Matahari adalah jarak posisi Matahari dengan ekuator langit diukur sepanjang lingkaran deklinasi atau lingkaran waktu . Jika deklinasi berada di sebelah selatan ekuator diberi tanda negatif ( - ) dan sebelah utara ekuator diberi tanda positif ( + ). Nilai deklinasi dari hari ke hari selama setahun terus berubah namun dari tahun ke tahun relatif sama. Setiap tanggal 21 Maret deklinasi bernilai 0o Matahari persis di ekuator, kemudian dari hari ke hari terus bergerak ke Utara sampai sekitar 21 Juni deklinasi Matahari mencapai nilai maksimum positif sekitar 23o 27’. Kemudian setelah itu kembali bergerak ke Selatan sampai sekitar tangal 23 September nilai deklinasi kembali 0o. Selanjutnya Matahari terus bergerak ke Selatan sampai sekitar tanggal 22 Desember nilai deklinasi mencapai maksimum negatif sekitar -23o 27’. Selanjutnya bergerak kembali ke Utara dan pada tanggal 21 Maret Matahari kembali berposisi di ekuator, nilai deklinasi 0o.
4. Tinggi Matahari
Tinggi Matahari disini adalah ketinggian posisi “Matahari yang terlihat” (posisi Matahari mar’i, bukan Matahari haqiqi) pada awal atau akhir waktu sholat diukur dari ufuq.
Tinggi Matahari ( h ) pada awal-awal waktu adalah :
 Awal waktu Maghrib h = - (0o 50’ + kerendahan ufuq (ku) )
 Awal waktu Isya h = - (17 o 50’ + ku )
 Awal waktu Shubuh h = - (19 o50’ + ku )
 Akhir Shubuh (terbit) h = - (0o 50’ + ku )
 Awal waktu Dlucha h = 4 o 30’
 Awal waktu Dhuhur Matahari persis pada meridian langit ( jam 12.00 Istiwa ) atau dengan rumus : h = 90o – ( p – d )
 Awal waktu Ashar, h diperoleh dari rumus : Cotan h = tan ( p - d ) + 1
5. Ihtiyathi
Ihtiyathi adalah langkah pengamanan atau tingkat kehati-hatian dengan cara menambahkan atau mengurangkan waktu agar jadwal waktu sholat tidak mendahului atau melampaui akhir waktu . Nilai ihtiati yang ditetapkan oleh H Saaduddin Djambek misalnya, adalah sekitar 2 menit.
Syekh Zubair Umar Salatiga Dalam Kitabnya Al-Khulashotul Wafiyyah menyebutkan bahwa waktu imsak seukuran membaca 50 ayat yang pertengahan secara murottal adalah sekitar 7 atau 8 menit. H. Saadoeddin Jambek mempergunakan 10 menit sebelum Shubuh.
Nilai ihtiyathi 1 - 2 menit sudah dianggap cukup memberikan pengaman terhadap pembulatan-pembulatan dan juga mempunyai jangkauan antara 27,5 sampai 55 km ke arah barat atau timur.
6. Perata Waktu
Perata Waktu adalah perbedaan atau selisih antara waktu Matahari haqiqi dan waktu Matahari pertengahan. Sering juga disebut dengan equation of time dan dalam istilah ilmu falak disebut dengan Ta’dil al Waqt.
7. Mekkah Mean Time (MMT) atau Kabah Universal Time (KUT)
Posisi Ka'bah atau kota Mekkah yang terletak pada meridian 40 derajat bujur timur, di tetapkan sebagai Meridian 0o KUT (Kabah Universal Time) . Bola bumi tidak terbelah menjadi dua, tetapi hanya ada satu lintasan BK (bujur ka'bah).
Oleh karena arah rotasi bumi dari barat ke timur, maka "pergerakan nisbi" matahari jika dilihat dari bumi adalah dari timur ke barat.
Dengan sistem Bujur Kabah (BK), bagi selissi waktu 1 jam dalam setiap 15 derajat BK. Karena sistem almanak Islam mengikuti calender Qammariyah, maka penggantian hari tidak dilakukan pada tengah malam. Tetapi dilakukan pada petang hari.
8. Sudut waktu
Sudut waktu setempat atau bisa juga disebut sudut waktu adalah sebuah besar sudut yang dapat dilihat dari kutub. Dimana setiap lingkaran waktu membuat sudut dengan lingkaran meridian .
Sudut waktu bernilai positif jika berada di belahan langit sebelah barat dan bernilai negatif jika berada di belahan bumi sebelah timur. Sudut waktu senantiasa berubah sebanyak ± 15o setiap jam.
Oleh karena itu setiap jumlah derajat sudut waktu dipindahkan menjadi jumlah jam, menit dan detik waktu.
360o = 24 jam
15o = 1 jam
1o = 4 menit
15’ = 1 menit

F. Metode Penulisan
Dalam penelitian berikutnya, metode penulisan yang dipakai adalah sebagai berikut :
1. Jenis dan Sumber Data
a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari buku karya Bambang E Budhiyono, buku Kabah Universal Time (KUT) Reinventing The Missing Islamic Time System..
b. Data sekunder yaitu data yang ada hubungannya dengan pembahasan waktu shalat, bisa berupa dokumen-dokumen, buku-buku.
2. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka metode yang penulis pergunakan adalah:
a. Metode penelitian library research melakukan analisis terhadap sumber data, sebagai data primer, dan buku-buku lain yang menunjang, dan melakukan wawancara ke sejumlah madrasah dan atau pondok pesantren yang mengamalkan kitab ini untuk mendapatkan data lapangannya. Library researsch adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengolah bahan penelitian. Dengan library research ini lebih daripada sekedar memperdalam kajian teoritis, bahkan memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitian ini.
3. Metode Analisis Data
Kajian ini termasuk penelitian kepustakaan yaitu penelitian kepustakaan terhadap buku-buku dan kitab yang berkaitan dengan penelitian. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan komparatif sebagaimana terdapat pemikiran beberapa tokoh dalam penghitungan waktu shalat dan juga konsep mekkah sebagai pusat bumi.
Untuk mengetahui seberapa besar implikasi kota Mekkah sebagai pusat bumi terhadap sistem waktu shalat di Indonesia, penulis menggunakan metode deskriptif. Metode ini akan menggambarkan dan menganalisa data yang ada.

G. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, penulisan pada penelitian ini terdiri lima bab yang di dalam setiap babnya terdapat sub-sub pembahasan.
BAB I : Pendahuluan
Bab ini meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Konsep Umum Fiqh Waktu Shalat
Bab ini meliputi pengertian shalat menurut bahasa dan istilah, dasar hukum menghadap pelaksanaan shalat menurut al-qur’an dan al-hadis, sejarah kiblat, pemikiran ulama fiqih tentang waktu shalat, dan metode penghitungan waktu shalat
BAB III : Mekkah Sebagai Pusat Bumi Terhadap Sistem Waktu Shalat di Indonesia
Bab ini meliputi letak dan skema geografis dari kota Mekkah, peradaban ilmu astronomi yang ada disana, mekkah sebagai pusat bumi (Mekkah Mean Time), perbandingan konsep Mekkah Mean Time dengan Greenwich Mean Time.
BAB IV : Analisis Mekkah Sebagai Pusat Bumi Terhadap Sistem Waktu Shalat di Indonesia
Bab ini berisi tentang methode penentuan sistem waktu shalat terhadap kota Mekkah menjadi pusat bumi (Mekkah Mean Time) dan pengaruh atau implikasi kota Mekkah sebagai pusat bumi terhadap sistem waktu shalat di Indonesia
BAB V : Penutup
Bab ini meliputi kesimpulan, saran-saran, dan penutup.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahim . Ilmu Falak. Jogjakarta : Liberty. 1983
Azhari, Susiknan. Pembaharuan Pemikiran Hisab Indonesia. Yogyakarta : Pustaka pelajar. 2002
Budhiyono Bambang E, buku Kabah Universal Time (KUT) Reinventing The Missing Islamic Time System tahun 2010
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra. 2002.
Djambek, Saadoeddin. Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa. Jakarta : Bulan Bintang . 1974
Khazin, Muhyiddin. Kamus Ilmu Falak. Yogyakarta: Buana Pustaka. 2005.
Supriatna, Encup. Hisab Rukyat dan Aplikasinya. Bandung: Refika Aditama. 2007

Comments (0)