BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Tujuan penciptaan manusia yang subtansial adalah untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana ditegaskan dalam surat Al Dzariyat ayat 56.[1] Artinya seluruh dimensi ruang dan waktu memiliki nilai yang sakral karena seluruh makhluk selalu bertasbih dan beribadah hanya kepada Allah. Inilah salah satu kunci utama ajaran Islam yang diyakini merupakan ajaran final yang lengkap dan paripurna.
Dimensi waktu merupakan hal yang sistematis dan tidak bisa terpisahkan dari semua perbuatan manusia. Waktu yang digunakan manusia di bumi dipengaruhi oleh dua benda angkasa yang dalam, yakni matahari dan bulan.[2] Matahari sebagai pusat tata surya dan sumber utama planet-planet di- dalamnya, memiliki sinar yang terang (sumber cahaya). Begitu pula dengan bulan yang bercahaya (menerima pantulan cahaya matahari) pada malam hari. Bulan memiliki manzilah-manzilah (orbit/ garis edar) yang dimanfaatkan oleh manusia sebagai patokan waktu, mengetahui hari, bulan, bilangan tahun dan sebagainya dengan perhitungan-perhitungan tertentu.[3]
Dalam kajian astronomi atau falakiyyah mengenal waktu matahari dan waktu menengah. Waktu matahari ialah waktu yang disesuaikan menurut perjalanan matahari dan ditunjukkan oleh jam matahari (sundial), dalam bahasa Inggris disebut dengan Solar Time.[4] Sedangkan waktu menengah (rata-rata) ialah waktu yang disesuaikan dengan matahari yang terkadang bisa lebih cepat atau lebih lambat dari waktu yang sebenarnya.[5] Penentuan waktu ini biasanya berdasarkan bujur yang dijadikan pedoman bagi suatu daerah, dalam bahasa Inggris disebut Mean Time.[6]
Satuan-satuan waktu yang diorganisasikan dalam sebuah sistem disebut dengan kalender.[7] Dalam literatur klasik maupun kontemporer istilah kalender biasa disebut dengan tarikh, takwim, almanak, dan penanggalan. Kalender dibuat untuk tujuan penandaan serta perhitungan waktu dalam jangka panjang. Kelender juga berkaitan dengan peradaban manusia, karena berperan penting dalam penentuan waktu berburu, bertani, bermigrasi, peribadatan dan perayaan-perayaan.[8]
Beberapa sistem kalender mengacu pada satu siklus astronomi yang mengikuti aturan yang tepat. Sistem kalender lainnya mengacu pada sebuah aturan yang abstrak dan hanya mengikuti sebuah siklus yang berulang tampak memiliki arti secara astronomis.[9]
Sejarah mencatat bahwa kalender Gregorian merupakan kalender yang disempurnakan dari kalender Julian dan Agustan yang telah diperkenalkan oleh Paus Gregorius XIII sejak 24 Februari 1582 M.[10] Pada tahun 1582 M terjadi perubahan siklus musim semi yang lebih cepat dari siklus sebelumnya. Pada tanggal 4 Oktober 1582 M, Paus Gregorius XIII menetapkan bahwa keterlambatan penanggalan selama 10 hari tersebut harus dikoreksi. Pengoreksiannya dengan meniadakan tanggal 5 Oktober sampai 15 Oktober 1582 M.[11]


[1] Dalam ayat ini Allah berfirman yang artinya “dan Kami tidak menciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah kepada Ku”. (QS. 51 : 56).
[2] Moedji Raharto,  Matahari dan Bulan Bagi Penghuni Bumi, Hendro Setyanto, Membaca Langit, Jakarta: Al-Ghurabi, 2008, hlm. ix.
[3]  Moedji Raharto, Sistem Penanggalan Syamsiyah/Masehi, Bandung: ITB,  2000, hlm. 1.
[4] Susiknan Azhari,  Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm 28.
[5] Sugita, I Made, Ilmu Falak untuk Sekolah Menengah di Indonesia, Jakarta: J.B Wolters, 1951, hlm 90 .
[6] Ibid, hlm 28.
[7] Susiknan Azhari,  op.cit, hlm 115.
[8] Susiknan Azhari, Ilmu Falak (Perjumpaan Khazanah Islam dan Sain Modern), Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004, hlm. 81.
[9] Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyah dan Hisab, Jakarta: Amaythas Publicita, 2007, hlm. 47.
[10] Ibid,  hlm.73.
[11] Bambang Eko Budhiyono, Kabah Universal Time, Jakarta: Pilar Press, 2010, hlm 45.

Comments (0)